Langit masih gelap ketika Naira menyelesaikan lipatan terakhir di kopernya. Kota itu belum bangun, tapi dalam dirinya, sebuah cahaya kecil mulai menyala—ragu, tapi menyala. Ia duduk sebentar di ujung ranjang, memandangi foto masa kecilnya di dinding: anak perempuan bermata besar dengan senyum lebar, berdiri di depan panggung kecil di acara sekolah.
“Aku ingin jadi penyanyi!” katanya waktu itu, lantang di hadapan para guru dan teman-temannya. Orang-orang tertawa kecil, beberapa memuji, beberapa hanya saling melirik. Dan bertahun-tahun setelahnya, mimpinya perlahan dilipat, disimpan rapi, seperti pakaian musim lalu yang tak lagi dipakai.
“Kenapa nggak jadi guru aja kayak Ibu?”
“Nyanyi itu hobi, bukan jalan hidup.”
“Realistis dong, Na.”
Kata-kata itu bergema begitu sering, sampai ia sendiri lupa suara hatinya. Ia menjalani hidup seperti garis yang ditarikkan orang lain: kuliah di jurusan yang “aman”, kerja kantoran dengan rutinitas yang bisa ditebak, tersenyum saat diminta, dan diam saat hatinya ingin bicara.
Namun malam itu, setelah bertahun-tahun menunggu, ia akhirnya berkata cukup. Bukan karena dendam. Bukan karena ingin membuktikan siapa yang salah. Tapi karena ia lelah menjadi orang lain.
Hari ini, Naira akan berangkat ke Bandung, menempuh program pelatihan musik selama enam bulan. Ia tak tahu apakah ini akan berhasil. Ia bahkan belum tahu akan tinggal di mana setelah minggu pertama. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa hidupnya bukan sekadar daftar tugas yang harus diselesaikan. Ini adalah hidupnya. Dan ia ingin menuliskannya sendiri.
Di dalam kereta, ia menatap jendela, melihat bayangan wajahnya. Ada gurat takut, ya. Tapi juga ada sesuatu yang lain. Ketenangan. Keberanian.
Ia teringat potongan lagu lama yang dulu sering ia nyanyikan diam-diam sambil menangis di kamar mandi:
"This is my life, it's not what it was before..."
Suara itu dulu hanya bisikan. Kini, perlahan tumbuh menjadi suara yang tak lagi ingin disangkal.
***
Kereta perlahan mengurangi kecepatan ketika memasuki Stasiun Bandung. Embun masih menggantung di jendela saat Naira melangkah turun, menggenggam koper tuanya erat. Tak ada yang menjemput, tak ada poster bertuliskan namanya, hanya deretan orang asing yang berjalan cepat menuju kehidupan masing-masing. Tapi anehnya, itu justru membuatnya merasa bebas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, tak ada yang menunggu versinya yang "sempurna."
Asrama tempat pelatihan berada tak jauh dari stasiun. Sebuah rumah tua bergaya kolonial, diubah menjadi tempat tinggal para siswa yang datang dari berbagai kota. Ada anak muda dengan gitar di punggung, perempuan berhijab yang menggenggam partitur, dan satu pria tua berambut perak yang menyapa semua orang dengan nama depan. Naira belum kenal siapa pun, tapi ia merasa tak sendiri.
Hari-hari pertama berjalan kaku. Suaranya sering pecah saat latihan. Ia ketinggalan tempo. Tangannya gemetar saat harus tampil di depan mentor. Tapi malam-malam di kamar asrama, saat semua tertidur, Naira akan duduk sendiri di balkon, menyanyikan lagu-lagu lama yang dulu hanya ia bisikkan dalam hati.
Dan pelan-pelan, sesuatu berubah.
Suatu sore di minggu ketiga, ia diminta menyanyikan lagu ciptaannya sendiri di depan kelas. Ia memilih satu yang ia tulis diam-diam tahun lalu, di tengah lembur pekerjaan kantor yang membosankan. Lagu itu sederhana, tentang kehilangan arah, tentang ingin pulang pada suara hati, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia pikir tak akan ada yang peduli.
Tapi begitu selesai, ruangan hening.
Lalu, suara tepuk tangan pelan dari sudut ruangan. Disusul satu lagi. Dan satu lagi. Sampai akhirnya semua ikut bertepuk tangan. Bukan karena itu lagu terbaik yang pernah mereka dengar. Tapi karena mereka tahu: suara itu jujur. Dan di dunia musik—seperti juga di dunia kehidupan—kejujuran adalah kekuatan yang tak bisa dipalsukan.
Malam itu, seorang peserta asal Makassar mendatangi Naira.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi lagu kamu kayak... lagu hidupku juga,” katanya.
Naira hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Mungkin karena kita semua pernah pura-pura kuat,” jawabnya pelan.
***
Di akhir bulan keenam, Naira tidak langsung jadi penyanyi terkenal. Ia belum punya album, belum viral di mana pun. Tapi ia sudah tampil di dua kafe kecil, mengajar vokal anak-anak komunitas, dan—yang terpenting—ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Ia menulis surat untuk ibunya. Bukan surat permintaan maaf. Tapi surat ucapan terima kasih. Karena meski berbeda jalan, ia tahu ibunya hanya ingin ia hidup baik. Dan kini, ia sedang belajar arti hidup yang baik itu—dari awal, dengan suara sendiri.
"This is my life... I’ll do what I must..."
Dan ia tahu: selagi ia jujur pada langkahnya, hidupnya tidak akan pernah sia-sia.
***
Beberapa bulan setelah pelatihan selesai, Naira belum juga kembali ke kota asalnya. Ia menyewa kamar kecil di gang sempit dekat Dago, tempat suara motor bercampur dengan suara burung gereja dan percakapan tetangga. Ia hidup sederhana. Kadang hanya makan mie dan telur. Tapi malam-malamnya kini penuh nyawa: ada panggilan video dari anak-anak komunitas, pesan suara dari teman-teman barunya, dan secarik catatan lirik yang makin hari makin bertambah.
Ia juga mulai bekerja paruh waktu di sebuah studio rekaman kecil. Bukan sebagai penyanyi dulu, tapi sebagai asisten. Ia menyeduh kopi, mencatat progres vokal klien, membersihkan kabel—semua dilakukan dengan sabar. Ia tahu, suara yang besar lahir dari tempat yang rendah hati.
Suatu hari, saat mengantar kopi ke ruang editing, produser di sana—Pria paruh baya bernama Pak Damar—mendengar ia bersenandung kecil sambil menunggu lift. Lagu itu ciptaannya sendiri, tapi ia tak pernah menyanyikannya untuk siapa pun.
“Lagu siapa itu?” tanya Pak Damar, tanpa menoleh.
Naira gugup. “Lagu saya, Pak. Cuma iseng-iseng.”
“Besok, datang lebih pagi. Saya mau kamu rekam lagu itu. Untuk latihan,” katanya singkat.
Latihan itu berujung menjadi demo. Demo itu berujung menjadi rekaman utuh. Dan pada hari yang tak ia rencanakan, lagu itu diputar pertama kali di radio komunitas lokal, menjelang tengah malam.
Ia tak menangis. Ia hanya duduk di ujung tempat tidurnya, mendengarkan suara sendiri lewat speaker tua, dan untuk pertama kalinya sejak kecil, ia merasa... diterima.
***
Beberapa minggu kemudian, ia pulang ke rumah.
Bukan untuk pamer. Bukan karena semua sudah sempurna. Tapi karena ia ingin memperlihatkan pada ibunya bahwa ia baik-baik saja. Bahwa meski hidup tak lagi berada di rel yang dulu direncanakan, ia tak tersesat.
Rumah itu masih sama. Cat dindingnya mulai pudar. Jemuran baju masih ada di depan. Ibunya membuka pintu dengan wajah tak berubah—keras, tenang, penuh cinta yang sering tak diucapkan.
“Kamu kurusan,” kata ibunya.
Naira tertawa kecil. “Aku kerja. Bukan liburan.”
Mereka makan malam tanpa banyak bicara. Tapi ketika Naira mengeluarkan speaker portabel dan memutar lagunya pelan-pelan, ibunya berhenti mengunyah. Hanya mendengarkan.
Lagu itu bukan tentang rumah, bukan juga tentang keluarga. Tapi tentang seorang perempuan yang berjalan jauh hanya untuk mengerti suara sendiri.
Saat lagu selesai, ibunya menatapnya sebentar. Tak berkata apa-apa. Hanya mengambilkan seporsi nasi tambahan.
Dan itu cukup.
***
Naira tidak sedang mengejar panggung besar. Ia tidak ingin menjadi viral. Tapi setiap kali seorang remaja mengirimkan pesan lewat DM, berkata “Lagu Mbak bikin aku kuat hari ini,” ia tahu: hidupnya sedang berjalan ke arah yang benar.
Ia tidak sempurna. Tidak selalu yakin. Tapi kini ia tahu, meski kadang sendiri, meski kadang dilupakan, ia tetap bisa memilih langkahnya.
"This is my life... and I just began to understand."
Dan itu, baginya, lebih dari cukup.
0 komentar:
Posting Komentar