Langit pagi itu kelabu. Angin menyusup perlahan melalui jendela kamar Kayla, membelai tirai tipis yang menggantung diam. Di sudut ranjang, ia duduk dengan lutut dipeluk, matanya sembab, dan dadanya sesak oleh kenyataan yang belum sepenuhnya ia terima: hari ini adalah hari terakhirnya di sekolah itu.
“Kay, ayo turun. Mobil jemputan udah datang,” suara Mama memanggil dari lantai bawah.
Kayla tak segera menjawab. Ia menatap meja belajarnya yang masih penuh tempelan foto—foto bersama Rena, sahabatnya sejak kelas satu. Di antara semua, ada satu yang selalu membuatnya tersenyum dan sekaligus perih: potret mereka berdua duduk di bawah pohon flamboyan, tertawa lepas, tangan saling menggenggam, seolah dunia tak akan pernah memisahkan.
Hari ini, dunia membuktikan sebaliknya.
Di sekolah, suasana terasa berbeda. Bukan karena upacara perpisahan yang telah disiapkan, tapi karena diam-diam, semua tahu: Kayla akan pindah ke kota lain, mengikuti ayahnya yang mendapat tugas baru di luar pulau.
Rena menghampirinya di taman belakang, tempat biasa mereka berbagi cerita. Tidak banyak kata yang terucap. Hanya tatapan dan napas panjang.
“Kenapa harus pindah?” suara Rena parau.
“Aku juga nggak mau. Tapi… kadang, kita nggak bisa milih,” jawab Kayla, menunduk.
“Tak ingin pergi berpisah,” gumamnya lirih.
Hening sesaat. Angin membawa guguran daun-daun kecil jatuh di antara mereka.
“Kay,” ucap Rena pelan, “mungkin ini bukan akhir. Kadang yang kelihatan menyakitkan, sebenarnya lagi ngajarin kita sesuatu. Mungkin… kita harus lihat lebih dekat.”
Kayla tersenyum samar. Kata-kata itu menampar lembut perasaannya. Ia mendongak, menatap langit yang kini mulai cerah perlahan. Mungkin benar, perpisahan bukan untuk ditangisi selamanya, tapi untuk dipahami.
Saat bel berbunyi, mereka berdiri. Tak ada pelukan. Hanya genggaman tangan erat, seperti dalam foto yang pernah mereka ambil dulu. Kayla menoleh terakhir kali sebelum naik mobil. Rena melambaikan tangan, matanya berkaca, tapi bibirnya tetap tersenyum.
Hari itu, Kayla belajar sesuatu:
Kepergian memang menyedihkan. Tapi jika dilihat lebih dekat, setiap langkah menjauh bisa jadi awal untuk sesuatu yang lebih luas—dan lebih indah.
***
Kota ini terasa asing. Jalanan yang sibuk, gedung-gedung tinggi yang berjejer tanpa wajah ramah, dan suara klakson yang tak henti seolah mempertegas: ini bukan tempat di mana kenangan tumbuh. Kayla, kini duduk di kelas delapan di sebuah sekolah negeri di kota besar, lebih banyak diam daripada bicara. Ia rindu suara tawa Rena, bangku taman yang biasa mereka duduki, dan semua hal kecil yang kini terasa tak tergantikan.
Hari-harinya berjalan seperti lembar kertas kosong. Datang, duduk, diam, pulang. Tak ada yang istimewa.
Sampai suatu hari, saat hujan turun deras di luar jendela kelas, seorang anak laki-laki bernama Rio menghampirinya. Tangannya membawa buku gambar yang penuh coretan.
“Kamu suka gambar?” tanya Kayla, pelan.
Rio mengangguk. “Aku biasanya gambar orang-orang yang aku rindukan.”
Kayla menoleh penuh perhatian. “Rindu bisa jadi bahan buat gambar, ya?”
“Bisa. Karena rindu itu detail. Kalau kamu perhatiin baik-baik, kamu bisa gambar rasanya.”
Kata-kata itu menusuk lembut ke dalam dirinya, seperti gema dari suara Rena di taman sekolah dulu: "Mungkin kita harus lihat lebih dekat."
Hari itu, untuk pertama kalinya, Kayla membuka buku catatannya lagi. Bukan untuk mencatat pelajaran, tapi untuk menulis. Ia menulis surat untuk Rena. Bukan surat yang akan dikirim lewat pos, melainkan surat yang ia simpan di antara halaman terakhir buku hariannya.
“Rena,
Hari ini aku ketemu seseorang yang bilang rindu bisa digambar. Mungkin itu benar. Karena aku pun bisa melihat wajahmu setiap kali aku memejamkan mata. Dulu aku kira perpisahan itu akhir. Tapi sekarang aku tahu, kenangan tetap tinggal, bahkan saat kita sudah melangkah jauh.
Kayla.”
Beberapa minggu kemudian, Kayla mulai menemukan warna dalam harinya. Ia bergabung dengan klub teater sekolah—sebuah langkah kecil tapi berarti. Ia mulai menulis naskah, bermain peran, dan secara perlahan, merangkai dunia baru di sekelilingnya.
Dalam salah satu pementasan akhir semester, Kayla menulis cerita tentang dua sahabat yang harus berpisah karena keadaan, tapi menemukan kembali makna persahabatan melalui hal-hal kecil yang mereka kenang. Penonton menangis. Rio berkata, “Kamu menggambar lewat kata.”
Dan saat tirai ditutup, Kayla berdiri di panggung, menatap ke kursi penonton yang kosong di barisan paling belakang. Di sana, dalam imajinasinya, Rena duduk sambil tersenyum dan bertepuk tangan.
***
Waktu berjalan cepat seperti kereta malam yang tak bisa dihentikan. Lima tahun berlalu sejak Kayla meninggalkan sekolah lamanya. Sekarang ia duduk di kelas dua SMA, jauh lebih tinggi, lebih tenang, dan lebih banyak mengamati daripada bicara. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan barunya. Tidak sepenuhnya nyaman, tapi cukup untuk membuatnya bertahan.
Malam itu, sekolahnya mengadakan festival seni antar-SMA se-kota. Kayla kembali menjadi penulis naskah sekaligus sutradara teater. Cerita yang mereka tampilkan berjudul “Pohon di Tengah Jalan”, tentang dua sahabat masa kecil yang berpisah karena salah paham, tapi diam-diam menanam pohon bersama sebagai tanda bahwa mereka pernah ada.
Setelah pementasan usai, tepuk tangan meriah menggema di aula. Kayla berdiri di belakang panggung, tersenyum lelah, menatap sekeliling. Tiba-tiba, seorang panitia berlari kecil ke arahnya sambil menunjuk ke arah pintu masuk.
“Kayla, ada yang nyariin kamu.”
Ia melangkah keluar perlahan. Dan di sana—berdiri di antara kerumunan siswa dan lampu panggung yang mulai diredupkan—seseorang yang wajahnya tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya: Rena.
Rambutnya lebih panjang sekarang. Senyumnya masih sama. Dan tatapannya… mengandung rindu yang tak sempat diucapkan selama bertahun-tahun.
“Kamu serius nulis cerita itu sendiri?” tanya Rena setelah mereka duduk di bangku taman belakang gedung sekolah.
Kayla tertawa kecil. “Sebagian aku tulis dari ingatan. Sebagian lagi dari penyesalan.”
“Kamu tahu,” Rena mulai, suaranya pelan, “aku sempat kirim surat ke rumah lamamu. Tapi katanya kalian sudah pindah. Aku kira kamu nggak mau dihubungi lagi.”
“Aku tunggu kabar dari kamu bertahun-tahun,” kata Kayla, suaranya nyaris pecah. “Tapi aku nggak tahu ke mana harus mencari.”
Hening menyelimuti mereka, bukan karena canggung, tapi karena masing-masing sedang menata ulang kenangan yang retak.
Rena mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah foto lama. Foto mereka berdua, duduk di bawah pohon flamboyan.
“Aku bawa terus ini,” katanya. “Karena kamu bilang kenangan nggak bisa hilang, cuma pindah tempat.”
Kayla mengangguk. Kali ini, ia tak menahan air mata.
“Rena,” bisiknya. “Terima kasih sudah datang malam ini.”
“Terima kasih sudah bertahan,” balas Rena. “Sekarang aku tahu, perpisahan memang menyakitkan… tapi kalau dilihat lebih dekat, dia juga ngajarin kita cara menghargai yang pernah kita punya.”
***
Malam itu, dua sahabat berjalan di antara cahaya lampu yang mulai padam. Di tangan mereka, kenangan bukan lagi luka. Ia berubah menjadi sesuatu yang lain: ruang sunyi yang hangat, yang selalu bisa disinggahi kapan pun mereka merasa sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar